blog ini merupakan curahan tertulis, cita-cita, maupun karya, sebagai bentuk tanggung jawab intelektual dan moral untuk pengembangan ilmu pengetahuan, persembahan dari Encik Akhmad Syaifudin, Faperta Unmul Samarinda.
Saturday, August 4, 2012
Mimpi mewujudkan pertanian lestari untuk padi
Jika ada pertanyaan, masalah apakah yang paling relevan dibicarakan selama bertahun-tahun, maka jawabannya tidak lain adalah masalah pangan. Hal ini tidak lain karena pangan merupakan persoalan umat manusia sepanjang tahun, dan penduduk dunia setiap waktu senantiasa bertambah jumlahnya. Dekade 60’an, telah ditandai dengan diimplementasikannya program “revolusi hijau” di berbagai negara, yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan khususnya biji-bijian seperti gandum, padi, dan jagung. Di Indonesia, program ini sangat terkenal dengan panca usaha-nya, dan memang dapat mendongkrak produksi padi. Tahun 1969 produksi padi Indonesia masih berada pada level 12,2 juta ton, namun dengan program tersebut hingga 1984 dapat dihasilkan sekitar 25 juta ton. hal mana menyebabkan Soeharto dianugerahi penghargaan oleh FAO karena berhasil membawa Indonesia menjadi swasembada beras. Swasembada beras 1984 diraih dengan kebijakan at all cost: swasembada adalah segala-galanya. Tak hanya political will, pemerintah juga merekayasa kelembagaan dan memberikan dukungan dana penuh. Setiap departemen bekerja secara harmoni untuk sawsembada. Paket teknologi bagi petani peserta program dibantu melalui kredit pada bank pemerintah khususnya BRI, namun diberikan dalam bentuk natura seperti benih padi unggul, pupuk, dan pestisida. Pemanfaatan pestisida merupakan upaya preventif atas serangan jasad pengganggu tanaman, untuk mempertahankan tingkat produktivitas per luas lahan dilakukan secara terjadwal.
Masa keemasan sebagai Negara surplus padi tidak berlangsung lama. Jika dilihat, periode dari 1969-1984 merupakan masa peningkatan produksi hingga mencapai swasembada, maka pada periode berikutnya, 1984-1998 merupakan titik balik, di mana Indonesia kembali harus mengimpor beras. Pada saat periode peningkatan produksi, produksi padi tumbuh rata-rata 5,1% per tahun, sementara pertumbuhan permintaan rata-rata 4,65% per tahun, sehingga terjadi surplus, sebaliknya, pertumbuhan produksi padi pada periode 1984-1998 hanya 1,7% per tahun, dengan pertumbuhan permintaan 4,16% per tahun, sehingga wajar terjadi impor sebab sisi penawaran lebih kecil. Melihat kembali periode 1969-1984, dapat diperkirakan bahwa kondisi tanah masih sehat, sebab itulah ada respon positif tanaman atas input teknologi yang diberikan sehingga produktivitas meningkat.
Sebagai sebuah sistem hidup, tanah memiliki arti penting bagi produksi padi. Dengan digunakannya paket panca usaha benih unggul, yang memang dirancang menjadi tanggap terhadap input teknologi berupa pengolahan tanah, pemupukan kimia, pestisida, dan pengairan, maka penggunaan benih unggul membuat petani menjadi sangat tergantung atas berbagai input teknologi. Aplikasi pupuk dan pestisida kimiawi yang wajib saat itu adalah merupakan bagian dari penyebab menurunnya daya dukung lahan, sebab tanah yang memiliki aspek fisik, kimia dan biologi telah diperlakukan tidak seimbang. Dengan pemupukan dan pemberian pestisida yang intensif, alih-alih akan meningkatkan hasil, justru sebaliknya membuat kerusakan pada tanah. Sifat kimia dan fisik tanah menjadi berubah, demikian pula sifat biologinya. Input bahan organik yang seharusnya memiliki peran penting dalam menentukan kesehatan tanah untuk mendukung padi kurang diperhatikan sebab petani lebih suka membakar jerami padinya ketimbang membuat kompos jerami. Ini membuat bahan organik tanah menjadi rendah dan mengakibatkan berkurangnya jasad hidup tanah, sebab selain sumber energinya berkurang. Panas akibat pembakaran jerami ikut serta mematikan sejumlah besar jasad hidup tanah. Penggunaan traktor pun telah mengesampingkan peran hewan ternak sebagai pembajak di sawah, mengakibatkan kurangnya input organik ke tanah sawah, sebagai konsekuensi berkurangnya ternak pembajak. Sisa (residu) pestisida kimia mengakibatkan pula berkurangnya jasad hidup tanah, dan mematikan jasad non target atau jasad bukan sasaran, akibatnya terjadi pergeseran peran jasad hidup, yang tadinya bukan penting sebagai hama malah berubah status menjadi hama. Jadi, pestisida kimiawi nampaknya bukan mematikan hama saja, tetapi justru juga ikut serta menciptakan “hama” baru. Karena itulah model “revolusi hijau” ini bukanlah model pembangunan pertanian yang ideal.
Pembangunan berkelanjutan atau lestari yang dianut Indonesia saat ini sebagai konsep pembangunan antergenerasi, penting untuk dipahami, dan juga dipraktekkan. Bagian dari pembangunan lestari itu adalah Pertanian Lestari, yang bertumpu pada empat prinsip yaitu prinsip ekonomi, sosial, lingkungan hidup, dan spiritual. Pertanian lestari sesungguhnya merupakan best practice agriculture orang Indonesia pada masa sebelum “revolusi hijau”. Dulu, limbah dari pertanian dibuat kompos dan dikembalikan lagi ke tanah. Keanekaragaman hayati juga lebih tinggi sebab petani memelihara berbagai tanaman selain padi, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, hewan ternak, serta ikan. Praktek lainnya misalnya melakukan rotasi tanaman, yang secara ekologis membantu menekan penyakit dan serangan hama tanaman, dan menanam tanaman unggul lokal. Praktek ini selalu dikawal dengan memelihara dan merawat ternak sesuai kebutuhannya, serta menggembalakan secara alamiah, karena ternak adalah sumber ekonomi sekaligus sumber bahan organik penting bagi orang di perdesaan.
Di masa setelah era “revolusi hijau” yang produktivitasnya tinggi, maka pertanian lestari masih sebuah “mimpi” alih-alih kenyataan. Hal ini disebabkan karena dalam prakteknya pertanian lestari “belum mampu” menunjukkan kinerja meningkatkan hasil secara kuantitatif, padahal jumlah penduduk semakin meningkat Demikian juga dalam hal dukungan pemerintah, pertanian lestari belum didukung political will yang kuat, rekayasa teknologi dan kelembagaan, serta dukungan dana penuh, sebagaimana dukungan kepada “revolusi hijau” di masa lalu. Pada tataran teknis, ditemukannya mikro organisme pengompos cepat, metode penanaman system rice intensification (SRI) yang mampu meningkatkan jumlah anakan dan anakan produktif padi per rumpun, diadaptasi kembali model mina padi dan bebek padi di sawah, serta makin banyaknya temuan pestisida nabati kekayaan masyarakat lokal, ini semua masih merupakan awal perjuangan menwujudkan mimpi pertanian lestari itu. Dengan demikian, jalan masih panjang. Namun demikian jika tekad pemerintah kuat pasti akan terwujud. Sudah banyak kisah sukses petani bersertifikat organik yang meraup untung dari pertanian lestari mereka, karena mereka dapat memberikan jaminan produk pertanian mereka sehat, sebab ditanam dari tanah yang sehat, dan diproses dengan bahan-bahan yang alami. Jadi mewujudkan petani sejahtera melalui pertanian lestari bukalah sesuatu yang mustahil.
Saat ini pemerintah telah menetapkan target surplus beras 10 juta ton dalam empat tahun ke depan, atau kira-kira 47,4 juta ton dari total produksi tahun 2010. Bersamaan itu, usaha tani, terutama di Jawa, sudah mendekati titik jenuh. Pertumbuhan produksi banyak disumbang oleh pencetakan sawah dan intensitas penanaman, bukan oleh produktivitas. Inilah momentumnya jika pemerintah ingin mewujudkan pertanian lestari sebagai basis produksi padi. Pemerintah harus memiliki political will untuk mewujudkannya, lakukanlah rekayasa kelembagaan petani, beri pendampingan yang cukup untuk mencerdaskan petani dengan teknologi yang berwawasan lingkungan, perbaiki atau bangun infrastruktur seperti bendungan dan saluran irigasi, lakukan pencetakan sawah, bantu permodalan petani dengan mendirikan bank khusus pertanian, dan titik beratkan pembangunan pertanian itu untuk masyarakat perdesaan, dan bukan keberpihakan pada pertanian padat modal. Dengan keberpihakan pemerintah kepada petani secara all out, akan terbangun kerjasama yang saling menguntungkan. Lakukan diversifikasi pangan agar konsumsi perkapita beras 139,15 kg/tahun dapat ditekan. Pangan lokal yang sumbernya beragam harus kembali digalakkan. Juga, paling penting untuk diingat, jagalah jangan sampai terjadi kerusakan lingkungan akibat kesalahan penggunaan teknologi sebagaimana di masa “revolusi hijau” yang lalu. Wallahu a’lam.
(Naskah ini sudah dimuat di Tribun kaltim berturut-turut tanggal 2 dan 3 Agustus 2012 masing-masing pada halaman 5)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment