ABSTRAK
Kegiatan pertanian telah mengubah komunitas yang stabil tetapi produktivitas per biomas-nya rendah menjadi komunitas yang tidak stabil tetapi produktivitas per biomas-nya tinggi, dengan tambahan input waktu, tenaga, biaya dan energi. Aliran energi sering menjadi sangat cepat keluar masuk lingkungan bilamana komunitas yang tidak stabil tersebut terganggu. Gangguan ini antara lain akibat serangan
Kata kunci: komunitas stabil dan tidak stabil, mengubah, alokasi sumberdaya, pemanfaatan.
I. Sistem Pertanian/Perkebunan dan Keseimbangan Lingkungan
Kegiatan pertanian telah mengubah komunitas hutan menjadi areal pertanian/perkebunan. Komunitas hutan memiliki stabilitas dan keanekaragaman hayati yang tinggi, tetapi “kurang bermanfaat” bagi manusia dalam arti produktivitas per biomassa-nya rendah (produk yang diambil bukan kayu). Kegiatan pertanian/perkebunan bertujuan mempertinggi produktivitas per biomassa, sehingga kawasan hutan yang memiliki banyak aneka tumbuhan dan satwa (heterogen), diubah menjadi lebih homogen, sehingga produktivitas per biomassa-nya tinggi. Kawasan yang telah diubah ini sering disebut pertanaman monokultur, secara ekologis berciri tidak mantap.
Untuk memantapkannya, perlu dilakukan pemberian input, seperti tenaga kerja, air, pupuk, pestisida, mekanisasi, dan bangunan-bangunan, yang kesemuanya berorientasi pada waktu, tenaga-pikiran, biaya dan energi. Dipilihnya genotipe padi dengan rumpun yang pendek dan jumlah bulir yang banyak dalam proses seleksi merupakan upaya mempertinggi produktivitas per biomassa tadi. Demikian pula, dalam hal ternak, diseleksi hewan yang memiliki daging yang banyak dengan kandungan lemak dan tulang sedikit. Dengan menurunkan keanekaragaman (dan meningkatkan keseragaman), penggunaan energi untuk mengelola dapat lebih cermat (Soeriaatmadja, 1989). Namun, yang sering terjadi adalah bahwa aliran energi menjadi sangat cepat keluar masuk lingkungan pertanian akibat keseimbangan lingkungan terganggu. Ini dapat dilihat pada saat adanya gangguan jasad pengganggu tanaman (JPT), di mana diperlukan upaya pengendalian JPT yang memerlukan energi. Demikian pula, pengolahan tanah telah menyebabkan kerusakan tanah tidak terhindarkan lagi. Berdasarkan hukum termodinamika I dan II, disebutkan bahwa energi alamraya selalu tetap, dan tidak semua energi yang ada dapat dipakai untuk melakukan kerja. Artinya, dari energi yang dimasukkan ke dalam sistem pertanian, ada sejumlah energi yang terbuang percuma, dan itu berarti pemborosan energi yang keluar sistem pertanian, dan merupakan penambahan energi di alamraya. Akibatnya, energi yang diboroskan akan menyumbang kepada derajat ketidak-teraturan sistem (entropi) alamraya (Soemarwoto, 1994).
Dalam keadaan stabil, baik ditinjau dari keanekaragaman hayati, maupun kesuburan tanah, terdapat keseimbangan antara predator dan mangsa, serta antara inang dan parasit. Namun, sebagaimana yang telah disebutkan, tanaman budidaya tidak memberikan hasil yang optimum bila tumbuh dalam keadaan seperti itu, sebab terlampau besar hajat manusia akan hasil tanaman. Dengan demikian tanaman harus dibudi-dayakan di lingkungan pertanaman. Permasalahannya adalah, keanekaragman hayati serta stabilitas kesuburan tanah yang tinggi merupakan merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap jasad pengganggu tanaman (JPT). Timbulnya kasus
Keberadaan Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis) yang “turun gunung” ke perkebunan maupun kampung merupakan konsekuensi logis dari kegiatan pembukaan hutan, baik untuk pertanian/perkebunan, maupun untuk keperluan perambahan. Manusia menyebut gajah ini adalah
Jalan tengah agar dapat menghindari besarnya kerugian, antara lain adalah dengan mengalokasikan sebagian sumberdaya untuk
Dalam pandangan ekonomi klasik, mengubah alokasi sumberdaya berarti mengalokasikan sebagian modal untuk hal yang ‘tidak produktif” dan secara ekonomi akan berarti memperbesar rugi, namun kenyatannya penyediaan bahan-bahan agrokimia seperti pestisida adalah juga mengalokasikan modal untuk mengendalikan
II. Aspek ekonomi
Keberadaan gajah di luar negeri maupun di dalam negeri telah dimanfaatkan, maka gajah di Sebuku mungkin dapat pula dikelola sesuai dengan kebutuhan setempat. Usulan para pihak yang menghendaki adanya kawasan khusus untuk mendukung kehidupan gajah sangat mendasar sebagaimana yang disebutkan oleh yaitu memberi kesempatan kepada kawanan itu untuk hidup dan mencari makan. Untuk mengatasi masalah pokok yang mengakibatkan eksodus gajah ke perkebunan atau kampung adalah adalah mengatasi kekurangan tempat hidup dan mencari makan, sehingga alokasi luasan tertentu lahan untuk tempat hidup gajah perlu diwujudkan.
Berpikir tentang tempat mencari makan, adalah berpikir tentang lestarinya sumber-sumber makanan gajah tersebut, sumber air, pohon sebagai sumber daun dan buah, serta peneduh, dan yang paling penting adalah suasana yang tenang. Dalam kaitan ini tentu peranan pemerintah sebagai regulator sangat menentukan, dan harus diimbangi dengan kesadaran para pihak yang terlibat untuk memberi ruang bagi makhluk ini. Menurut Harto (2006), satu gajah
Sisi penting (aspek) ekonomi gajah tersebut mungkin dapat dicapai, sebagaimana yang telah dicapai pada daerah-daerah atau negara dimana gajah sudah dikembangkan manfaatnya. Perkiraan manfaat ekonomi itu antara lain adalah:
1. Wisata alam
Kekayaan Kalimantan berupa satwa gajah ini tergolong berita “baru”, sebab baru terungkap di kalangan masyarakat awam, itupun karena adanya serangan gajah ke pekebunan dan perkampungan. Ini tentu akan menarik perhatian, oleh karenanya perlu dilakukan penataan ruang untuk kawasan perlindungan gajah ini dengan perangkat hukum, misalnya dalam bentuk peraturan daerah, atau peraturan/perundangan lainnya; perangkat fisik, misalnya penyediaan parit pembatas wilayah, pagar, jalan inspeksi, pos pengintai, serta perlengkapan komunikasi; perangkat biologis, yaitu pohon-pohon yang ditanam sebagai sumber pakan maupun tempat berlindung. Dengan adanya kawasan yang tertata seperti ini, kawasan di luar wilayah itu mendapat pengaruh, misalnya berkembangnya jalur dan alat transportasi, akomodasi, dan sebagainya. Pembangunan kawasan wisata di luar kawasan perlindungan gajah akan memberikan manfaat ekonomi.
Pelatihan gajah untuk dijadikan kendaraan akan menarik perhatian para wisatawan, terutama anak-anak, sebab mengendarai gajah merupakan suatu peristiwa yang langka. Selama ini hal itu hanya dapat dilihat pada sirkus atau di arena satwa, yang terdapat di
2. Alat angkut
Di Sri Lanka,
3. Sumber bahan organik
Gajah adalah herbivora (Wikpiedia, 2007), sehingga bahan organik seperti tinja dan urin gajah berpeluang untuk dimanfaatkan. Manfaat itu antara lain sebagai bahan
4. Bahan
Gading gajah merupakan bahan mahal yang dicari orang. Pemanfaatan ini tentu membutuhkan banyak perangkat, antara lain perangkat hukum, sebab gajah adalah makhluk yang dilindungi undang-undang, dan perburuan untuk mendapatkan gading merupakan satu di antara penyebab matinya ribuan gajah di afrika,
5. Pusat studi satwa gajah
Pusat studi bermakna tempat mempelajari sesuatu. Di luar negeri gajah memang sudah banyak diteliti, namun sifat biologis dan sosial gajah
III. Penutup
Sebagai satwa asli, yang secara ilmiah sudah dinyatakan berbeda dengan gajah Sumatera, maka keberadaan gajah
Daftar Pustaka
Harto, A. 2006. “Nenek Liar” Belantara Sebuku. WWF Indonesia (online)
Soeriaatmadja, R.E.1989. Ilmu lingkungan. Pustaka ITB,
No comments:
Post a Comment