Friday, May 30, 2008

Harapan buat pemimpin baru Kaltim 2008

Gubernur Baru Kaltim 2008, kami rakyat Kaltim mengharapkan Bapak memimpin Kaltim seadil-adilnya, bijaksana, merakyat, mendengarkan dan memahami, serta menindaklanjuti janji Bapak kepada rakyat, sebab Bapak dipilih rakyat. Bila Bapak mendengarkan suara rakyat ini, InsyaAllah Bapak Amanah, dan didoakan rakyat, tetapi bila Bapak tidak mendengarkan, apalagi sampai tidak melaksanakan janji kepada Rakyat, Ingatlah, bahwa Allah telah mencatat janji Bapak dan akan memberikan keputusan seadil-adilnya atas perjanjian itu. Kami mendoakan senantiasa atas keselamatan Bapak beserta rakyat Kalimantan Timur.

Monday, May 19, 2008

ASPEK EKONOMI KEBERADAAN GAJAH DI SEBUKU KABUPATEN NUNUKAN

ABSTRAK

Kegiatan pertanian telah mengubah komunitas yang stabil tetapi produktivitas per biomas-nya rendah menjadi komunitas yang tidak stabil tetapi produktivitas per biomas-nya tinggi, dengan tambahan input waktu, tenaga, biaya dan energi. Aliran energi sering menjadi sangat cepat keluar masuk lingkungan bilamana komunitas yang tidak stabil tersebut terganggu. Gangguan ini antara lain akibat serangan hama tanaman. Untuk menghindari hal ini diperlukan alokasi sumberdaya untuk hama. Gajah sebagai hama harus ditangani dengan pendekatan alokasi sumberdaya lahan. Pemerintah memegang peranan penting sebagi regulator, dan para pihak berperan meningkatkan kesadaran dalam berbagi ruang. Aspek ekonomi keberadaan gajah ini adalah sebagai komponen wisata alam, diberdayakan sebagai alat transportasi, buangannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas serta kompos, pemanfaatan gading untuk bahan kerajinan, serta menjadikan pusat studi satwa gajah Kalimantan.

Kata kunci: komunitas stabil dan tidak stabil, mengubah, alokasi sumberdaya, pemanfaatan.


I. Sistem Pertanian/Perkebunan dan Keseimbangan Lingkungan

Kegiatan pertanian telah mengubah komunitas hutan menjadi areal pertanian/perkebunan. Komunitas hutan memiliki stabilitas dan keanekaragaman hayati yang tinggi, tetapi “kurang bermanfaat” bagi manusia dalam arti produktivitas per biomassa-nya rendah (produk yang diambil bukan kayu). Kegiatan pertanian/perkebunan bertujuan mempertinggi produktivitas per biomassa, sehingga kawasan hutan yang memiliki banyak aneka tumbuhan dan satwa (heterogen), diubah menjadi lebih homogen, sehingga produktivitas per biomassa-nya tinggi. Kawasan yang telah diubah ini sering disebut pertanaman monokultur, secara ekologis berciri tidak mantap.

Untuk memantapkannya, perlu dilakukan pemberian input, seperti tenaga kerja, air, pupuk, pestisida, mekanisasi, dan bangunan-bangunan, yang kesemuanya berorientasi pada waktu, tenaga-pikiran, biaya dan energi. Dipilihnya genotipe padi dengan rumpun yang pendek dan jumlah bulir yang banyak dalam proses seleksi merupakan upaya mempertinggi produktivitas per biomassa tadi. Demikian pula, dalam hal ternak, diseleksi hewan yang memiliki daging yang banyak dengan kandungan lemak dan tulang sedikit. Dengan menurunkan keanekaragaman (dan meningkatkan keseragaman), penggunaan energi untuk mengelola dapat lebih cermat (Soeriaatmadja, 1989). Namun, yang sering terjadi adalah bahwa aliran energi menjadi sangat cepat keluar masuk lingkungan pertanian akibat keseimbangan lingkungan terganggu. Ini dapat dilihat pada saat adanya gangguan jasad pengganggu tanaman (JPT), di mana diperlukan upaya pengendalian JPT yang memerlukan energi. Demikian pula, pengolahan tanah telah menyebabkan kerusakan tanah tidak terhindarkan lagi. Berdasarkan hukum termodinamika I dan II, disebutkan bahwa energi alamraya selalu tetap, dan tidak semua energi yang ada dapat dipakai untuk melakukan kerja. Artinya, dari energi yang dimasukkan ke dalam sistem pertanian, ada sejumlah energi yang terbuang percuma, dan itu berarti pemborosan energi yang keluar sistem pertanian, dan merupakan penambahan energi di alamraya. Akibatnya, energi yang diboroskan akan menyumbang kepada derajat ketidak-teraturan sistem (entropi) alamraya (Soemarwoto, 1994).

Dalam keadaan stabil, baik ditinjau dari keanekaragaman hayati, maupun kesuburan tanah, terdapat keseimbangan antara predator dan mangsa, serta antara inang dan parasit. Namun, sebagaimana yang telah disebutkan, tanaman budidaya tidak memberikan hasil yang optimum bila tumbuh dalam keadaan seperti itu, sebab terlampau besar hajat manusia akan hasil tanaman. Dengan demikian tanaman harus dibudi-dayakan di lingkungan pertanaman. Permasalahannya adalah, keanekaragman hayati serta stabilitas kesuburan tanah yang tinggi merupakan merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap jasad pengganggu tanaman (JPT). Timbulnya kasus hama dan penyakit pada daerah pertanian yang monokultur bukanlah hal yang luar biasa. Salah satunya disebabkan kurangnya sumber makanan bagi hama, atau sumber nutrisi bagi parasit, sebab tanaman dan hasilnyapun dapat dikonsumsi oleh JPT, yang – dalam keadaan stabil di hutan – boleh jadi sesungguhnya bukan JPT, akan tetapi karena keterdesakannya, maka jasad itu menjadi “jasad pengganggu yang memangsa tanaman, bahkan membahayakan manusia.

Keberadaan Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis) yang “turun gunung” ke perkebunan maupun kampung merupakan konsekuensi logis dari kegiatan pembukaan hutan, baik untuk pertanian/perkebunan, maupun untuk keperluan perambahan. Manusia menyebut gajah ini adalah hama yang merusak tanamannya. Ini menunjukkan kepentingan ekonomi lebih dari kepentingan ekologi, sebab tanaman budidaya lebih “penting” dibanding keberadaan gajah itu. Keseimbangan lingkungan baru setelah pembukaan hutan, yaitu areal pertanaman tidak lagi mampu memberikan daya dukung bagi sejumlah besar komponen ekosistemnya, termasuk gajah, karena hanya manusia yang berhak memanen produk tanaman/kebun di situ, oleh karenanya timbullah masalah ini.

Jalan tengah agar dapat menghindari besarnya kerugian, antara lain adalah dengan mengalokasikan sebagian sumberdaya untuk hama. Dalam praktek Pengendalian Hama Terpadu (PHT), prinsip berdampingan hidup dengan hama ini adalah sebuah pemikiran ekologi yang diimplementasikan dalam proses pengendalian hama. Alokasi ini misalnya berbentuk pemanenan sebagian besar hasil, dan membiarkan sebagian hasil lainnya untuk dimakan hama. Dalam hal ini petani tidak mendapatkan 100% hasil yang diharapkannya, namun hama yang memangsa - yang notabene adalah juga komponen ekosistem di situ – tetap ada dan terkendali populasinya, sebagai akibat bahan makanan yang mendukung hidupnya dipasok dalam jumlah tertentu dari hasil panen yang dibiarkan. Dalam hal ini alokasi tersebut sesungguhnya penting untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan, sebab komponen ekosistem seperti hama itu, walaupun hingga saat ini yang dapat diketahu hanyalah adanya kerusakan yang ditimbulkan, namun sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa pasti ada manfaatnya, walaupun saat ini belum terlihat. Nilai penting (ekonomi) hama pada taraf ini adalah bahwa bila hama itu eksis, maka akan ada sejumlah hasil (atau sejumlah sumberdaya) yang dialokasikan.

Dalam pandangan ekonomi klasik, mengubah alokasi sumberdaya berarti mengalokasikan sebagian modal untuk hal yang ‘tidak produktif” dan secara ekonomi akan berarti memperbesar rugi, namun kenyatannya penyediaan bahan-bahan agrokimia seperti pestisida adalah juga mengalokasikan modal untuk mengendalikan hama, sehingga dua model alokasi sumberdaya ini sesungguhnya sesuatu yang sama.

II. Aspek ekonomi

Keberadaan gajah di luar negeri maupun di dalam negeri telah dimanfaatkan, maka gajah di Sebuku mungkin dapat pula dikelola sesuai dengan kebutuhan setempat. Usulan para pihak yang menghendaki adanya kawasan khusus untuk mendukung kehidupan gajah sangat mendasar sebagaimana yang disebutkan oleh yaitu memberi kesempatan kepada kawanan itu untuk hidup dan mencari makan. Untuk mengatasi masalah pokok yang mengakibatkan eksodus gajah ke perkebunan atau kampung adalah adalah mengatasi kekurangan tempat hidup dan mencari makan, sehingga alokasi luasan tertentu lahan untuk tempat hidup gajah perlu diwujudkan.

Berpikir tentang tempat mencari makan, adalah berpikir tentang lestarinya sumber-sumber makanan gajah tersebut, sumber air, pohon sebagai sumber daun dan buah, serta peneduh, dan yang paling penting adalah suasana yang tenang. Dalam kaitan ini tentu peranan pemerintah sebagai regulator sangat menentukan, dan harus diimbangi dengan kesadaran para pihak yang terlibat untuk memberi ruang bagi makhluk ini. Menurut Harto (2006), satu gajah Kalimantan membutuhkan habitat 400 hektar. Jika diasumsikan terdapat 50 gajah di Nunukan, diperlukan seluas 20.000 hektar lahan. Gajah Kalimantan mampu berjalan sejauh 2-2,5 kilometer per hari dengan kebutuhan makan 10 persen dari berat badan. Untuk memenuhi kondisi ideal ini berarti harus dilakukan pembangunan kawasan hutan perlindungan gajah.

Sisi penting (aspek) ekonomi gajah tersebut mungkin dapat dicapai, sebagaimana yang telah dicapai pada daerah-daerah atau negara dimana gajah sudah dikembangkan manfaatnya. Perkiraan manfaat ekonomi itu antara lain adalah:

1. Wisata alam

Kekayaan Kalimantan berupa satwa gajah ini tergolong berita “baru”, sebab baru terungkap di kalangan masyarakat awam, itupun karena adanya serangan gajah ke pekebunan dan perkampungan. Ini tentu akan menarik perhatian, oleh karenanya perlu dilakukan penataan ruang untuk kawasan perlindungan gajah ini dengan perangkat hukum, misalnya dalam bentuk peraturan daerah, atau peraturan/perundangan lainnya; perangkat fisik, misalnya penyediaan parit pembatas wilayah, pagar, jalan inspeksi, pos pengintai, serta perlengkapan komunikasi; perangkat biologis, yaitu pohon-pohon yang ditanam sebagai sumber pakan maupun tempat berlindung. Dengan adanya kawasan yang tertata seperti ini, kawasan di luar wilayah itu mendapat pengaruh, misalnya berkembangnya jalur dan alat transportasi, akomodasi, dan sebagainya. Pembangunan kawasan wisata di luar kawasan perlindungan gajah akan memberikan manfaat ekonomi.

Pelatihan gajah untuk dijadikan kendaraan akan menarik perhatian para wisatawan, terutama anak-anak, sebab mengendarai gajah merupakan suatu peristiwa yang langka. Selama ini hal itu hanya dapat dilihat pada sirkus atau di arena satwa, yang terdapat di kota besar di Jawa. Jika di Nunukan atau Sebuku ada atraksi tersebut, maka ini tentu merupakan suatu keunggulan kompetitif dalam dunia pariwisata Kabupaten Nunukan.

2. Alat angkut

Di Sri Lanka, India, Thailand, dan di Lampung, gajah yang telah jinak dimanfaatkan untuk atraksi, menggiring gajah liar, atau untuk transportasi terutama mengangkut peralatan di medan yang sulit. Hal ini sangat mungkin untuk dikembangkan di Sebuku, bilamana sarana dan prasarananya cukup, misalnya ada lokasi sekolah gajah, dilengkapi dengan instrukturnya. Lebih baik lagi bila ada pihak ke tiga yang mau membiayai, atau memanfaatkan gajah yang telah jinak tersebut, dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip ekologi.

3. Sumber bahan organik

Gajah adalah herbivora (Wikpiedia, 2007), sehingga bahan organik seperti tinja dan urin gajah berpeluang untuk dimanfaatkan. Manfaat itu antara lain sebagai bahan baku biogas, serta pupuk kandang. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri pada kondisi anaerob (tidak bersentuhan dengan udara). Bahan-bahan organik adalah bahan-bahan yang dapat terurai kembali menjadi tanah, antara lain sampah organik, yang setelah dihancurkan dan diberi perlakuan tertentu dicampur dengan tinja (sapi, babi, atau gajah) serta air sampai encer kemudian baru dimasukan ke dalam digester. Di dalam digester akan terjadi proses fermentasi oleh bakteri-bakteri, salah satunya adalah Methanogen bacterium. Hasil gas yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga, maupun industri di pedesaan, sebagai bentuk penghematan energi minyak bumi.

4. Bahan baku kerajinan

Gading gajah merupakan bahan mahal yang dicari orang. Pemanfaatan ini tentu membutuhkan banyak perangkat, antara lain perangkat hukum, sebab gajah adalah makhluk yang dilindungi undang-undang, dan perburuan untuk mendapatkan gading merupakan satu di antara penyebab matinya ribuan gajah di afrika, india, Sri Lanka, dan lain-lain. Kebutuhan lainnya dalam rangka memanfaatkan gading sebagai bahan baku kerajian adalah menyiapkan tenaga terampil yang mampu menangani gading yang dihasilkan.

5. Pusat studi satwa gajah

Pusat studi bermakna tempat mempelajari sesuatu. Di luar negeri gajah memang sudah banyak diteliti, namun sifat biologis dan sosial gajah Kalimantan ini masih perlu dipelajari. Hal ini berkaitan dengan adanya perbedaan DNA-nya dibanding DNA gajah Sumatera. Menurut Wikipedia (2007), Gajah adalah hewan herbivora. Ia menghabiskan 16 jam sehari untuk mengumpulkan makanan tanaman. Makanannya terdiri atas sedikitnya 50% rumput, ditambah dengan dedaunan, ranting, akar, dan sedikit buah, benih dan bunga. Karena gajah hanya mencerna 40% dari yang dimakannya, mereka harus mengonsumsi makanan dalam jumlah besar. Gajah dewasa dapat mengonsumsi 300 hingga 600 pon (140-270 kg) makanan per hari. Enam puluh persen dari makanan tersebut tertinggal dalam tubuh gajah tidak tercerna. Di atas merupakan hasil studi gajah pada umumnya. Hasil studi yang lebih spesifik untuk gajah Kalimantan dapat diperoleh dengan membuat kajian mendalam di habitat gajah Kalimantan ini. Dengan membangun pusat studi, maka kerjasama penelitian dengan berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung akan membuahkan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan daerah, dan manfaat ilmiah.

III. Penutup

Sebagai satwa asli, yang secara ilmiah sudah dinyatakan berbeda dengan gajah Sumatera, maka keberadaan gajah Kalimantan ini adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Konflik manusia dengan gajah dalam mendapatkan sumber kehidupan hendaknya di minimalisasi dengan peran serta pemerintah dan para pihak yang memiliki kesadaran berbagi ruang. Kesadaran berbagi ruang ini akan memberi manfaat ekonomi dengan tambahan upaya pembinaan.

Daftar Pustaka

Harto, A. 2006. “Nenek Liar” Belantara Sebuku. WWF Indonesia (online)

Soemarwoto, O. 1994. Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan. Jambatan, Jakarta.365 p

Soeriaatmadja, R.E.1989. Ilmu lingkungan. Pustaka ITB, Bandung. 133p.

Wikipedia, 2007. Gajah. Wikipedia Indonesia (online)

Saturday, May 3, 2008

Sawit, nilai ekonomi, dan kompetisi manfaat

Kalimantan Timur merupakan propinsi yang tengah mengupayakan mengubah hidup dan nasib masyarakat menjadi lebih makmur dan sejahtera melalui pengembangan berbagai komoditas perkebunan, antara lain sawit. Hal ini sesungguhnya telah berlangsung sejak tahun 1980-an, dimulai di Kabupaten Paser. Saat ini, kebun sawit telah terhampar, mulai dari Nunukan di Utara, Bulungan, Berau, Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Kutai Barat, hingga Pasir di Selatan.

Produk utama pohon kelapa sawit yang dimanfaatkan adalah tandan buahnya yang menghasilkan minyak dari daging buah dan kernel (inti sawit). Minyak kelapa sawit adalah bahan untuk pembuatan : mentega, minyak goreng dan kue/biskuit, bahan industri tekstil, farmasi, kosmetika, gliserin, sabun, deterjen, pomade, dan sebagai bahan biofuel.

Ampas tandan kelapa sawit merupakan sumber pupuk kaliun dan berpotensi untuk diproses menjadi pupuk organik melalui fermentasi (pengomposan) aerob dengan penambahan mikroba alami yang akan memperkaya pupuk yang dihasilkan. Ampas inti sawit (bungkil) digunakan untuk makanan ternak, sedangkan batang dan pelepah daun merupakan bahan pembuat particle board.

Keluarnya Inpres No. 1/2006 mengenai Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar disambut baik oleh kalangan pengusaha swasta, BUMN serta perbankan untuk terjun dalam bisnis ini. Potensi pengembangan energi alternatif seperti biofuel/diesel di Indonesia sangatlah besar, dimana kebutuhan bahan bakar minyak baik untuk kepentingan industri maupun individu memiliki kecenderungan terus mengalami peningkatan. Selain itu, elastisitas permintaan energi seperti BBM ataupun listrik bersifat inelastis. Artinya kenaikan harga tidak banyak mempengaruhi penurunan permintaan. Hal ini terbukti, walaupun pemerintah selama tahun 2005 menaikkan harga BBM sebanyak 2 kali dengan kenaikan lebih dari 100%, permintaan akan bahan bakar tidak mengalami penurunan yang berarti. Saat ini, di tahun 2008, harga minyak mentah sudah gila-gilaan, dan masyarakat terpukul karenanya.

Keterpukulan masyarakat, bukan saja karena semakin mahalnya harga BBM, tapi juga karena barang-barang kebutuhan pokok sering menghilang dari pasaran, seperti minyak goreng, yang notabene berbahan baku CPO dari sawit. Permasalahannya adalah, bagaimana kompetisi manfaat ini dapat disikapi masyarakat, sebab masyarakat tidak mengerti mengenai substitusi, perdagangan internasional, maupun permasalahan ekonomi mikro dan makro, yang mereka tahu, adalah kebutuhan hari ini harus dpenuhi.