Sunday, February 18, 2007

Ketahanan tanaman, tinjauan ekologi dan ekonomi sumberdaya 1)

E. AKHMAD SYAIFUDIN[2])

I. Sistem Pertanian dan Keseimbangan Lingkungan

Kegiatan pertanian telah mengubah komunitas hutan menjadi areal pertanian. Komunitas hutan memiliki stabilitas dan keanekaragaman hayati yang tinggi, tetapi kurang bermanfaat bagi manusia dalam arti produktivitas per biomassa-nya rendah. Kegiatan pertanian bertujuan mempertinggi produktivitas per biomassa, sehingga kawasan hutan yang memiliki banyak aneka tumbuhan dan satwa diubah menjadi lebih homogen, sehingga produktivitas per biomassa-nya tinggi. Kawasan yang telah diubah ini sering disebut pertanaman monokultur, berciri tidak mantap. Untuk itu, perlu dijaga kemantapannya dengan memberi input, seperti tenaga kerja, air, pupuk, pestisida, dan mekanisasi, yang kesemuanya berorientasi pada waktu, tenaga-pikiran, biaya dan energi. Dipilihnya genotipe padi dengan rumpun yang pendek dan jumlah bulir yang banyak dalam proses seleksi merupakan upaya mempertinggi produktivitas per biomassa tadi. Demikian pula, dalam hal ternak, diseleksi hewan yang memiliki daging yang banyak dengan kandungan lemak dan tulang sedikit. Dengan menurunkan keanekaragaman (dan meningkatkan keseragaman), penggunaan energi untuk mengelola dapat lebih cermat (Soeriaatmadja, 1989). Namun, yang sering terjadi adalah bahwa aliran energi menjadi sangat cepat keluar masuk lingkungan pertanian akibat keseimbangan lingkungan terganggu. Ini dapat dilihat pada saat adanya gangguan jasad pengganggu tanaman (JPT), di mana diperlukan upaya pengendalian JPT yang memerlukan energi. Demikian pula, pengolahan tanah telah menyebabkan kerusakan tanah tidak terhindarkan lagi. Berdasarkan hukum termodinamika I dan II, disebutkan bahwa energi alamraya selalu tetap, dan tidak semua energi yang ada dapat dipakai untuk melakukan kerja. Artinya, dari energi yang dimasukkan ke dalam sistem pertanian, ada sejumlah energi yang terbuang percuma, dan itu berarti pemborosan energi yang keluar sistem pertanian, dan merupakan penambahan energi di alamraya. Akibatnya, energi yang diboroskan akan menyumbang kepada derajat ketidak-teraturan sistem (entropi) alamraya (Soemarwoto, 1994).

Agroekosistem di Indonesia umumnya berada dalam lingkungan tropika basah. Ciri utama lingkungan tropika basah adalah (a) suhu, kelembaban, curah hujan, dan penyinaran tinggi sepanjang tahun, (b) produksi biomassa berlimpah, (c) perombakan bahan organik relatif cepat, dan (d) sistem perharaan bersifat tertutup (closed nutrient recycling). Pada kondisi ini, kesuburan tanah berada dalam keadaan stabil. Saat hutan dibuka untuk keperluan pertanian, maka terjadi kehilangan hara yang besar dalam bentuk (a) penebangan pohon dan pengangkutan biomas saat land-clearing, (b) erosi dan aliran permukaan yang dipercepat, dan (c) pengangkutan biomas saat panen tanaman semusim (Syekhfani, 1991). Dalam keadaan ini stabilitas kesuburan tanah menjadi terganggu.

Dalam keadaan stabil, baik ditinjau dari keanekaragaman hayati, maupun kesuburan tanah, terdapat keseimbangan antara predator dan mangsa, serta antara inang dan parasit. Namun, sebagaimana yang telah disebutkan, tanaman budidaya tidak memberikan hasil yang optimum bila tumbuh dalam keadaan seperti itu, sebab terlampau besar hajat manusia akan hasil tanaman. Dengan demikian tanaman harus dibudi-dayakan di lingkungan pertanaman. Permasalahannya adalah, keanekaragman hayati serta stabilitas kesuburan tanah yang tinggi merupakan merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap jasad pengganggu tanaman (JPT). Timbulnya kasus hama dan penyakit pada daerah pertanian yang monokultur bukanlah hal yang luar biasa. Salah satunya disebabkan kurangnya sumber makanan bagi hama, atau sumber nutrisi bagi parasit, sebab tanaman dan hasilnyapun dapat dikonsumsi oleh JPT, yang – dalam keadaan stabil di hutan – boleh jadi sesungguhnya bukan JPT, akan tetapi karena keterdesakannya, maka JPT itupun memangsa tanaman.

Pemahaman yang kontemplatif dan holistik terhadap berbagai faktor yang menopang keseimbangan alam sangat diperlukan. Ini berguna untuk menjembatani kebutuhan akan perlunya menjaga keseimbangan alam dengan kebutuhan perlunya meningkatkan produk tanaman bagi kesejahteraan masyarakat. Beban ekonomi tinggi yang dipikul masyarakat, khususnya pada sektor pertanian menunjukkan terjadinya inefisiensi ekonomi, misal masuknya beberapa item yang sesungguhnya tidak diperlukan dalam paket kredit pertanian. Oleh karenanya sistem pertanian diupayakan berbiaya rendah, bermasukan energi rendah, serta berkelanjutan (low energy input and sustainable agriculture), agar biaya-biaya yang tidak perlu dikeluarkan sebagai belanja produksi dapat dihemat, dan hanya biaya yang diperlukan saja yang dikeluarkan. Tentu saja tidak mudah mengubah praktek pertanian yang telah bertahun-tahun dijalankan, bahkan mungkin menjadi budaya masyarakat, karena bertahun-tahun, secara perlahan-lahan, kearifan berbudidaya telah direbut dari tangan petani. Secara sistemik, revolusi hijau, intensifikasi, dan modernisasi dalam corak produksi pertanian, mengurangi kemandirian petani Indonesia untuk menentukan sendiri keputusan penting yang harus diambil petani terhadap pertaniannya. Atas nama pertumbuhan produksi, ketahanan pangan dan swasembada beras, petani dipaksakan untuk memakai benih ungul, pupuk kimia, pestisida buatan pabrik. Pengetahuan lokal atas cara-cara memproduksi pupuk sendiri dari bahan asli setempat; mengendalikan hama secara alami, yakni dengan memelihara keseimbangan antara musuh dan hama; bahkan memuliakan benih sendiri, telah tersingkirkan. Secara sengaja, kearifan ini dihancurkan oleh teknologi revolusi hijau. Sudah lama petani hanya menjadi ‘tukang tani’ di lahannya sendiri. Tukang menyemprotkan pestisida, tukang menaburkan pupuk, tukang menanam benih ‘unggul’. Segalanya harus dibeli, segalanya harus didapatkan dari luar agroekosistem petani, sementara perdagangan input-input pertanian ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Sistem seperti ini bukan sistem yang ideal. Dengan demikian, sistem pertanian ini perlu dikoreksi agar tidak boros energi, alamiah, dan berpihak kepada petani.

II. Sistem Ketahanan Tanaman terhadap JPT, tinjuauan sub-sistem Internal dan Eksternal

Sistem ketahanan tanaman secara internal bersifat menurun, yaitu diwariskan dari induk kepada turunannya. Substansi yang bertanggung jawab dalam pewarisan sifat-sifat ini adalah molekul-molekul DNA yang tersusun dalam gen. Seleksi alamiah telah menyisihkan antara genotipe tahan dengan yang rentan, yang tahan terus berjaya, sedangkan yang rentan musnah. Sesungguhnya, yang tahanpun selalu mendapat serangan JPT, namun, dari waktu ke waktu terdapat kenaikan tingkat ketahanan dalam populasinya. Akhirnya, di suatu tempat yang spesifik, tercapailah keseimbangan yang non destruktif antara JPT dengan inangnya. Genotipe yang berada dalam keseimbangan ini memiliki ketahanan horizontal yang tinggi, artinya tahan terhadap banyak jenis JPT yang spesifik lokasi. Ketahanan ini ditopang oleh sejumlah gen ketahanan, sehingga ketahanan horisotal ini disebut juga ketahanan poligenik.

Para pemulia dan ahli hama-penyakit tumbuhan dapat mempercepat proses seleksi ini dengan memelihara, memilih, dan membiakkan individu-individu yang tahan, mengadakan hibridisasi sehingga dapat diperoleh genotipe-genotipe yang variasinya lebih besar, dan mengadakan infeksi buatan untuk meniru seleksi alamiah. Infeksi buatan ini biasanya melibatkan hanya satu atau dua jenis JPT, sehingga diperoleh satu genotipe tanaman yang tahan. Ketahanan seperti ini ditopang oleh satu gen tahan, sehingga disebut ketahanan monogenik. Ketahanan ini sangat spesifik JPT, artinya, genotipe itu hanya tahan hanya pada satu jenis JPT saja. Ketahanan ini disebut ketahanan vertikal.

Menurut Semangun (1996), biaya untuk mengelola JPT dengan genotipe yang tahan relatif lebih murah. Hal ini dibanding dengan pengelolaan dengan cara-cara seperti penyemprotan, karantina dan sebagainya. Permasalahan dalam memperoleh genotipe tahan meliputi : (a) tidak ada sumber gen tahan, (b) Sumber gen tahan sangat berbeda dengan tanaman yangakan ditingkatkan, (c) Gen sulit bergabung, (d) Ras JPT terlalu banyak, (e) Virulensi JPT meningkat, dan (f) ketahanan genotipe menurun akibat penyerbukan silang. Dikaitkan dengan keanekaragman hayati yang sebagian besar dimiliki oleh komunitas hutan, maka hutan merupakan sumber gen untuk tujuan pemuliaan tanaman. Hal ini karena di hutan masih banyak dijumpai kerabat-kerabat liar tanaman budidaya. Aplikasi hal ini misalnya pada proses pemuliaan padi, sumber gen diperoleh dari keanekaragaman genetik baik dari pool tanaman budidaya, maupun dari kerabat liar padi (Sitch dan Romero, 1990).

Dalam penerapan genotipe tahan terhadap JPT ini, diperlukaan pertimbangan-pertimbangan, yaitu apakah memilih genotipe tahan horisontal atau vertikal. Diringaskan oleh Robinson (1971) dalam Semangun (1996), bahwa jika (a) sering mengganti genotipe, (b) JPT patogen memiliki r dan t yang tinggi, (c) ingin menghindarkan dampak vertifolia, (d) ingin menghindarkan dampak perang biologi, (d) mutabilitas JPT patogen / hama tinggi, (e) pola penanaman monokultur, (f) jika proteksi kurang maksimal, maka seyogyanya dipilih genotipe dengan ketahanan horisontal. Sebaliknya, (a) menghadapi JPT patogen tipe bunga tunggal, (b) Lokus penanaman memiliki musim tertutup, (c) dibantu dengan genotipe dengan ketahanan horisontal,

III. Ketahanan Tanaman, Ketahanan Pangan, dan Ketahanan Ekonomi.

Kajian mengenai ketahanan tanaman merupakan kajian yang strategis, karena menyangkut kebutuhan pokok yang sangat esensi, sepanjang yang dimaksud tanaman di sini adalah tanaman pangan. Hubungan ketahanan tanaman dengan ketahanan pangan di sini jelas, yaitu bahwa tanaman adalah penghasil bahan pangan, dan bilamana tanaman gagal panen maka bahan pangan tidak diperoleh. Namun demikian, selain faktor tanaman, ketahanan pangan dipengaruhi pula dengan faktor ekonomi, yaitu daya beli masyarakat atas bahan pangan dimaksud. Media massa Indonesia akhir-akhir ini memberitakan timbulnya kasus gizi buruk, kekurangan kalori, gizi, dan protein, yang melanda kota-kota dan pelosok Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan merupakan sub sistem ketahanan nasional yang paling rapuh (Krishnamurti, 2003). Gejala goyahnya ketahanan pangan ini sesungguhnya sudah jauh hari dapat dilihat, bahkan sejak masa pemerintahan orde lama.

Disebutkan oleh Krishnamurti (2003), bahwa tonggak ketahanan pangan adalah keanekaragaman pangan, yaitu prasyarat pokok dalam konsumsi pangan yang cukup mutu dan gizinya. Program Penganeka-ragaman pangan yang dilakukan selama ini cenderung didominasi oleh peran pemerintah (pusat). Dalam program tersebut terdapat banyak konsep tetapi kurang diturunkan dalam bentuk langkah implementatif yang melibatkan stake-holder, dan tidak memiliki target kuantitatif yang disepakati bersama. Implementasi program banyak yang terjebak dalam proyek-proyek parsial yang kurang berkesinambungan. Disamping itu, peran Departemen Pertanian sangat menonjol dalam program yang disusun, sedangkan departemen lain cenderung untuk enggan berperan aktif di dalamnya. Dalam hal ini terlihat adanya hambatan koordinasi baik secara horizontal maupun vertikal.

Keaneka-ragaman pangan memiliki dua dimensi pokok, yaitu keaneka-ragaman dalam pola menu konsumsi pangan dimana terdapat keaneka-ragaman bahan makanan yang dikonsumsi sehingga memenuhi kebutuhan gizi yang bermutu dan seimbang (pola makan yang memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein, vitamin, dll); dan keaneka-ragaman sumber bahan pangan untuk masing-masing jenis gizi yang dibutuhkan (protein diperoleh dari hewan, ikan, tumbuhan; dan seterusnya). Kedua dimensi tersebut sangat erat keterkaitannya dan saling mempengaruhi.

Sejak krisis ekonomi dan moneter terjadi, kemampuan sebagian masyarakat untuk membeli bahan pangan pokok menurun, seiring meningkatnya jumlah orang miskin. Namun gejala ini lebih banyak menimpa wilayah perkotaan dari pada di pedesaan. Hal ini merupakan buah dari proses kultural yang memarjinalkan bahan pangan selain beras, sehingga ketika ekonomi goyah, maka masyarakat kesulitan untuk memperoleh beras, sebab hanya beras-lah satu-satunya bahan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan pokok. Sebaliknya, masyarakat pedesaan yang telah terbiasa mengkonsumsi berbagai jenis bahan pangan relatif tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi tersebut. Secara ekonomi masyarakat kota yang menggantungkan hidup dari pekerjaan tunggal menjadi sangat goyah ketika terjadi krisis ekonomi, sementara masyarakat desa masih survival, sebab mata pencahariannya beraneka macam, mulai bercocok tanam, beternak, memelihara ikan, dan lain sebagainya. Rupanya ada benang merah antara kata ‘ketahanan’ dengan ‘keaneka-ragaman’. Ketahanan tanaman horisontal ditopang oleh keaneka-ragaman gen, dan mampu bertahan menghadapi sejumlah macam JPT yang spesifik lokasi. Ketahanan ini mantap dalam dimensi ruang (wilayah), yang berbeda dengan ketahananan tanaman verikal, yang ditopang oleh gen tunggal, sehingga tanamman sangat tahan terhadap satu jenis JPT, namun tidak mampu menghadapi banyak JPT yang spesifik lokasi. Ketahanan pangan juga ditopang oleh keaneka-ragaman bahan pangan, baik dilihat dari pola menu, maupun sumber bahan pangan. Orang yang tidak dapat melakukan penganeka-ragaman bahan pangan dalam arti melakukan substitusi dan variasi bahan pangan akan goyah ketahanan pangannya. Di pihak lain, orang yang survival adalah yang dapat mengkonsumsi dan membuat variasi pangannya. Akhirnya, ketahanan ekonomi, ditopang oleh matapencaharian. Ketahanan ekonomi yang mantap tentunya diperoleh dari kemampuan profesi atau keahlian. Ketahanan ekonomi horisontal ditopang kemampuan menguasai berbagai keahlian, sebagaimana profesi petani dalam arti luas, yang bertahan di tengah hempasan krisis ekonomi moneter. Ketahanan ekonomi vertikal ditopang oleh satu jenis keahlian profesi, atau menggantungkan hidup pada satu jenis pekerjaan. Hal ini berbahaya, sebab suatu saat pekerjaan itu tidak diperlukan lagi, akibatnya terjadi PHK dan sebagainya. Model ketahanan apa yang akan kita pilih untuk diterapkan pada pertanian tanaman pangan dan praktek kehidupan ekonomi kita?

IV. Pertanian Ideal, Pendekatan Model keanekaragaman hayati yang diperkaya Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)

Revolusi hijau yang praktek pertaniannya diwakili oleh intensifikasi padi secara monokultur jelas memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah mampu meningkatkan produksi pangan dunia, namun, ketidak-adilan dalam distribusi masih menyisakan seperlima penduduk dunia yang kelaparan. Kekurangannya, terletak pada input produksi yang bermuatan energi tinggi (High energy input Agriculture = HEIA), seperti pupuk kimia dan pestisida sintetik, dengan penjadwalan ketat sehingga berpeluang mencemari lingkungan dan mempengaruhi kehidupan JPT.

Impian orang yang hidup pada milenium ini adalah mendapatkan kondisi pertanian ideal yaitu yang ekologis, ekonomis, adil, manusiawi, dan luwes (Reinjtjes et al., 1992). Hal ini disebut pertanian yang berkelanjutan, yang masih merupakan pendekatan-pendekatan, baik dari sisi akademis maupun praktis.

Dapatlah dikatakan bahwa model pertanian yang mendekati ideal adalah praktek pertanian yang berangsur-angsur meninggalkan praktek monokultur, dan beralih ke praktek polikultur. Praktek ini mengarah kepada meningkatnya keanekaragaman hayati, yang dapat berbentuk tumpang sari, budidaya pagar, maupun wanatani. Jika praktek ini dapat diperkaya dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT), maka praktek ini lebih berwawasan lingkungan.

PHT memiliki empat prinsip yaitu (a) budidaya tanaman sehat, (b) konservasi musuh alami JPT, (c) pengamatan mingguan, dan (d) Penguasaan petani terhadap keadaan agroekosistemnya. Pengelolaan Hama terpadu (PHT) ini mengedepankan peran musuh alami (predator, parasitoid, patogen) dengan tujuan memanipulasi populasi hama agar berada di bawah aras luka (Pedigo, 1999). Pengertian hama di sini sesungguhnya tidak sempit sebagaimana dalam arti JPT kelas insekta, maupun mamalia, namun disejajarkan kepada semua jenis JPT, karena konsep PHT ini telah diadopsi untuk mengelola JPT lainnya, seperti penyakit tumbuhan, dan gulma (Bayot, et al., 2000). Dimensi PHT ini meliputi dimensi vertikal, yaitu pendekatan pengendalian dengan memadukan semua taktik dan teknik yang mungkin dilakukan, serta dimensi horisontal, yaitu pendekatan pengendalian dengan melihat bahwa sasaran pengendalian meliputi beberapa JPT.

Setelah menyadari kelebihan dan kekurangan praktek revolusi hijau di atas, mari kita bandingkan dengan praktek pertanian saat ini. Menurut para peserta, apakah model yang saat ini kita praktekkan sudah benar? Ini hanya dapat dijawab jika pertanian itu berhasil meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas pelakunya.

V. Penutup

Tulisan ini tidak bersifat teknis, apalagi sampai melahirkan cara pengendalian. Tulisan ini lebih bertujuan mengajak peserta untuk melakukan perenungan terhadap model dari sistem pertanian kini kita lakukan dan di masa mendatang. Mudah-mudahan bermanfaat.

Pustaka

Bayot, R.G., A.K. Watson, dan K. Moody, 2000. Control of Paddy Weed By Plant Pathogens in the Philippines. Abstract. IRRI. (website : www.irri.org)

Krishnamurthi, B. 2003. Penganekaragaman pangan: pengalaman 40 tahun dan tantangan ke depan. Artikel tahun II no.7. J. Ekonomi Rakyat (website: www.ekonomirakyat.org)

Pedigo, L.P. 1999. Entomology and pest management. Prentice Hall, Upper Saddle River. N.J. 07458. Third Edition. Hlm. 39.

Reijntjes, C., B. Haverkort, dan Ann Water-Bayer. 1992. Pertanian masa depan. Terj. Sukoco. Kanisius, Yogyakarta. 270 hlm.

Semangun, H. 1996. Pengantar ilmu penyakit tumbuhan. UGM Press, Yogyakarta.754 hlm.

Sitch L.A. dan G.O. Romero, 1990. Attemp to overcome prefertilization incompatibility in intraspecific and intergeneric crosses involving Oryza sativa L. Genome 33: 321-327.

Soemarwoto, O. 1994. Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan. Jambatan, Jakarta.365 hlm.

Soeriaatmadja, R.E.1989. Ilmu lingkungan. Pustaka ITB, Bandung. 133 hlm.

Syekhfani, 1991. Pengeloaan kesuburan tanah dalam mempertahankan produksi pertanian berkelanjutan di lahan kering. Makalah kuliah perdana PPS Unibraw, Malang. 19 hlm.



[1] ) Disajikan sebagai pengantar diskusi pada acara pelatihan Peningkatan Kemampuan Petugas dalam Penanganan Daerah Penyangga Produksi, diselenggarakan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan Departemen Pertanian Republik Indonesia, dilaksanakaan di Samarinda, 28 Juni – 01 Juli 2005

[2] ) Lektor dalam mata kuliah Pengendalian Gulma Terpadu, pada PS Ilmu Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman (e-mail: rice_blast@plasa.com)

No comments: